Monday, January 2, 2012

UPACARA ADAT BUDAYA SUNDA (NUSANTARA - SABUANA) "NGERTAKEUN BUMI LAMBA" - mapag sasih kapitu suryakala -

Ini adalah sebuah upacara tahunan di puncak Gunung Tangkuban Parahu, di gelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru mulai kembali dari paling utara bumi menuju selatan, yaitu di setiap bulan 'kapitu'(bulan ke 7), dalam hitungan suryakala, kala ider (kalender) sunda.

Bersama mengekspresikan sembah kepada yang telah memberi kehidupan dengan cara menghaturkan beragam keindahan rasa persembahan, hasil bumi, lantunan mantera, musik sakral dan tarian. Intinya adalah berterimakasih kepada asal muasal keberadaan diri di alam ini. menghormati Gunung sebagai tempat 'Kabuyutan' (sumber air, makanan atau juga leluhur). Mengingatkan kepada setiap kita bahwa kesucian gunung adalah sumber utama makhluk di sekitar gunung tersebut, gunung adalah pakuan bumi di semesta ini, gunung menjadi sumber nilai spiritual dan budi pekerti yang mendasari perilaku yang berbudaya bagi umat manusia di muka bumi, sebagaimana nama SUNDA yang melekat pada Gunung Tangkuban Parahu (Purba Kancana Parahyangan).

Upacara terbuka untuk seluruh orang yang tetap meyakini jalan ketuhanan dan kemanusiaan "Sunda Wiwitan" (dalam makna universal). Yaitu orang yang berjuang untuk Tanah-Airnya dengan memelihara dan menjalankan semua warisan nilai spiritual, budi pekerti leluhurnya, sehingga bebas dari sekat perbedaan cara-ciri atau metode, atau juga seperti orang-orang yang meyakini cahaya kasih yang melekat dalam kepribadiannya yang terbuka. Dimana dengan pandangan dan rasa tersebut, secara bersama dapat bersatu untuk sembah hyang dengan harmonis dalam keberagaman (tanpa dibatasi, suku, ras, kebangsaan, agama, bahasa, cara-ciri dan lainnya).

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara untuk menjalankan pesan kasepuhan (orangtua adat) dari Kanekes, yang menitipkan 3 (tiga) Gunung, sebagai Pakualam (harus diperlakukan sebagai tempat suci yang penting bagi warga adat yang mengakui dirinya Urang Bandung), yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Wayang dan Gunung Gede. Inti upacara adalah untuk berterima kasih dan menerima semua kasih dengan menebarkan kasih diantara sesama ciptaanNya.

Upacara ini merupakan bentuk dari penerimaan terhadap perbedaan bangsa dan budaya, warna kulit, gender atau apapun, sebagai anugerah alamiah dengan penuh cinta yang murni dan bebas dari manipulasi.

Upacara ini juga dilakukan untuk memancarkan rasa terima kasih kita dengan karya bakti keindahan, memuji dengan semua persembahan, tata ruang, musik, nyanyian dan tarian, serta seluruh kesungguhan Dharma menerima Cahaya Hyang Maha.

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba menampilkan aktifitas budaya dari komunitas-komunitas warga adat dari beberapa wilayah Indonesia dan negara lain yang masih memelihara adat dan ajaran dari leluhurnya antara lain berupa simbol-simbol dalam suatu prosesi upacara adat (ritual) dengan tata cara nyanyian, musik atau tari-tarian.

Proses Ritual yang merupakan ekspresi dan wujud rasa syukur yang akan dilakukan oleh komunitas masyarakat adat di Puncak Gunung Tangkuban Perahu Jawa Barat adalah salah satu ruang yang diciptakan untuk saling berbagi dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.


MIPIT AMIT NGALA SEJA

Sebelum pelaksanaan Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, yang dilakukan di Gunung sebagai simbol Lingga, terlebih dahulu akan dilakukan prosesi Mipit Amit Ngala Seja, yang akan dilakukan di Sagara (Samudera) sebagai simbol Yoni. Lingga Yoni merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Mipit Amit akan dilakukan di 2 tempat, yaitu di Sagara Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan Sagara Sancang – Pamempeuk Garut.

Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang kita pergunakan atau lakukan, tanpa manifestasi lain yang lebih dahulu menjadi bagian dari sesuatu itu.

Buah dari pohon, air dari sungai, tanah kosong ber”penghuni”.

Sepantasnya, sebagai manusia berbudi pekerti, kita terlebih dahulu meminta keikhlasan dari “pemiliknya” tersebut, sebagai ekspresi rasa kasih Tuhan yang melekat dengan ciptaanNya.

Itu adalah esensi dari budaya Mipit Amit Ngala Seja, yang telah diwariskan leluhur Sunda kepada kita semua.

PROSESI MAPAH

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba akan dihadiri oleh Kolot Kanekes (Badui) yang datang khusus untuk menjadi Saksi pada acara ini. Mereka adalah Sesepuh atau Kolot yang Ngabaratakeun Telungpuluh Telu Nagara (Bertapa untuk Memelihara Keberlangsungan Seluruh Dunia).

Kolot Kanekes datang dengan prosesi Mapah , istilah bahasa sunda yang artinya berjalan kaki dari Kanekes menuju Bandung sejauh 275 KM.

Perjalanan ini mempunyai makna yang sangat mendalam secara spiritual, dimana jarak yang sangat panjang ini akan ditempuh dengan BERJALAN KAKI sebagai laku puasa dalam bentuk yang lain dan khas masyarakat adat Kanekes.

Waktu dan Lokasi Pelaksanaan

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan pada hari Minggu, Tanggal 26 Juni 2011, atau dalam penanggalan Kalasunda: Wuku Medakungan, Radite Pahing, 2 Kresnapaksa, Yesta 1947 Candrakala, 4 Kapitu 1933 Suryakala, sejak matahari terbit hingga hamper terbenam. Dilaksanakan di Puncak Tangkuban Parahu merupakan salah satu gunung dari gunung-gunung yang mengitari Cekungan Bandung, gunung berapi yang letaknya di Utara Kota Bandung, Jawa Barat – Indonesia. Gunung Tangkuban Parahu adalah anak dari letusan Gunung Sunda Purba (Purwakancana), konon merupakan gunung tertinggi di dunia di zaman dahulu.

(4 KAPITU1933 Suryakala / 2kresnapaksa-yesta-1947 candrakala, wuku medakungan, radite-pahing KALASUNDA)

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba akan melibatkan Komunitas Adat Lokal (Indonesia) dan Internasional. Beberapa komunitas adat lokal yang akan hadir antara lain komunitas adat Kanekes (Badui) - Banten, Dayak Sagandu - Indramayu, Rancakalong - Sumedang, Cicalengka & Majalaya - Bandung, Cirendeu - Cimahi, Nagara Banceuy – Subang, dan dari berbagai daerah di Indonesia seperti dari Kalimantan, Bali, Sulawesi, Sumatra, dan lain-lain.

Susunan Acara

Minggu - Kamis, 22 – 26 Mei 2011,

Mipit Amit ke Sagara Kidul Pelabuhan Ratu



Minggu - Kamis, 29 Mei – 2 Juni 2011,

Mipit Amit ke Sagara Kidul Sancang



Kamis - Kamis, 16 – 23 Juni 2011,

Prosesi Berjalan Kaki Kolot Kanekes (Badui) dari Kanekes –Banten ke Patumpekan Jalan Kuring – Bandung ( sekitar 275 KM)



Sabtu, 25 Juni 2011

Tumpekan di Patumpekan Jalan Kuring

Prosesi berjalan kaki dari Patumpekan Jalan

Kuring menuju Gunung Tangkuban Parahu

diikuti oleh Parade Budaya



Minggu, 26 Juni 2011

Upacara Ngertakeun bumi Lamba

Angklung Buncis

" getaran vibrasi angklung di percaya mampu melakukan pembersihan tempat dari aura aura negatif. oleh karena itu acara di mulai dengan membersihan tempat acara dengan angklung, yang dilakukan ketika rombongan pejalan kaki memasuki areal Upacara "

RAJAH KACAPI SULING

" Upacara dimulai dengan RAJAH KACAPI SULING yang diikuti oleh seluruh peserta upacara, bersamaan dengan para peserta upacara memulai menenangkan rasa diri "

Celempung dan Karinding

Ritual Adat oleh berbagai suku bangsa

Terbangan

Tarawangsa

Prosesi berjalan kaki dengan membawa Karunia upacara yang disimbolkan dengan Batu dan Air Cikahuripan dari Tangkuban Parahu menuju Patumpekan Jalan Kuring.



Rabu, 29 Juni 2011,

Prosesi Pelepasan Kolot Kanekes pulang berjalan Kaki dari Patumpekan Jalan Kuring – Bandung ke Kanekes – Banten.



Panitia

Jejer Kasepuhan:

- Ki Oji

- Bah Adung

- Jaro Daina

- Buya Sukabumi

- Paheran Takmad Diningrat

Jejer Panamping:

- Abah Dedi Bandung

- Kang Ucie

- Bang Tavip

- Kang Denden

- Kang Budi Dalton

Jaro Salametan :

- Kanta Purwadinata

- Galih Rakasiwi

Panata Parawanten:

- Kang Budi Curie

- Kang Wandi



Ketua Umum : Ichwan R. Akil (Kang Wawan Curie)

Ketua 1 (Upacara) : Kang Bonie

Ketua 2 (Mipit Amit) : Kang Hadi

Ketua 3 (Prosesi Mapah) : Kang Dinan

Sekretaris : Akil Afiat Ginanjar (Kang Gin gin Curie)

Bendahara : Dewi R. Anjarsari

Dokumentasi : Kang Firman, Kang Asep Iket

Transportasi : Kang Deden

Konsumsi : Ambu Dago





Ep ilog

Ungkapan rasa syukur dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Tuhan yang maha Esa dan rasa kasih sayang kepada sesama manusia serta makhluk lain di seisi jagat, seringkali ditampilkan dalam berbagai upacara ritual dan ekspresi seni.



Setidaknya, masih ada ruang untuk bisa saling berbagi dengan rasa Sawelas yang indah antara komunitas masyarakat adat dengan persepsi kekinian komunitas di luar masyarakat adat. Aktifitas ini juga selayaknya dapat (dilihat) sebagai ruang segregasi positif dari seluruh komunitas masyarakat adat di dunia.

Semoga perhelatan upacara Adat budaya ini menyumbangkan energi positif terbaik bagi semesta, untuk diri kita, dengan seluruh rasa perdamaian dan cinta kasih.



Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, SILIWANGI... Rahayu rahayu rahayu

1 comment:

  1. Kapan akan dilaksanakan kembali acara nya pak? Di tahun 2015 dan seterusnya
    Rahayu,,,,urang sunda

    ReplyDelete