Monday, January 2, 2012

UPACARA ADAT BUDAYA SUNDA (NUSANTARA - SABUANA) "NGERTAKEUN BUMI LAMBA" - mapag sasih kapitu suryakala -

Ini adalah sebuah upacara tahunan di puncak Gunung Tangkuban Parahu, di gelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru mulai kembali dari paling utara bumi menuju selatan, yaitu di setiap bulan 'kapitu'(bulan ke 7), dalam hitungan suryakala, kala ider (kalender) sunda.

Bersama mengekspresikan sembah kepada yang telah memberi kehidupan dengan cara menghaturkan beragam keindahan rasa persembahan, hasil bumi, lantunan mantera, musik sakral dan tarian. Intinya adalah berterimakasih kepada asal muasal keberadaan diri di alam ini. menghormati Gunung sebagai tempat 'Kabuyutan' (sumber air, makanan atau juga leluhur). Mengingatkan kepada setiap kita bahwa kesucian gunung adalah sumber utama makhluk di sekitar gunung tersebut, gunung adalah pakuan bumi di semesta ini, gunung menjadi sumber nilai spiritual dan budi pekerti yang mendasari perilaku yang berbudaya bagi umat manusia di muka bumi, sebagaimana nama SUNDA yang melekat pada Gunung Tangkuban Parahu (Purba Kancana Parahyangan).

Upacara terbuka untuk seluruh orang yang tetap meyakini jalan ketuhanan dan kemanusiaan "Sunda Wiwitan" (dalam makna universal). Yaitu orang yang berjuang untuk Tanah-Airnya dengan memelihara dan menjalankan semua warisan nilai spiritual, budi pekerti leluhurnya, sehingga bebas dari sekat perbedaan cara-ciri atau metode, atau juga seperti orang-orang yang meyakini cahaya kasih yang melekat dalam kepribadiannya yang terbuka. Dimana dengan pandangan dan rasa tersebut, secara bersama dapat bersatu untuk sembah hyang dengan harmonis dalam keberagaman (tanpa dibatasi, suku, ras, kebangsaan, agama, bahasa, cara-ciri dan lainnya).

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara untuk menjalankan pesan kasepuhan (orangtua adat) dari Kanekes, yang menitipkan 3 (tiga) Gunung, sebagai Pakualam (harus diperlakukan sebagai tempat suci yang penting bagi warga adat yang mengakui dirinya Urang Bandung), yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Wayang dan Gunung Gede. Inti upacara adalah untuk berterima kasih dan menerima semua kasih dengan menebarkan kasih diantara sesama ciptaanNya.

Upacara ini merupakan bentuk dari penerimaan terhadap perbedaan bangsa dan budaya, warna kulit, gender atau apapun, sebagai anugerah alamiah dengan penuh cinta yang murni dan bebas dari manipulasi.

Upacara ini juga dilakukan untuk memancarkan rasa terima kasih kita dengan karya bakti keindahan, memuji dengan semua persembahan, tata ruang, musik, nyanyian dan tarian, serta seluruh kesungguhan Dharma menerima Cahaya Hyang Maha.

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba menampilkan aktifitas budaya dari komunitas-komunitas warga adat dari beberapa wilayah Indonesia dan negara lain yang masih memelihara adat dan ajaran dari leluhurnya antara lain berupa simbol-simbol dalam suatu prosesi upacara adat (ritual) dengan tata cara nyanyian, musik atau tari-tarian.

Proses Ritual yang merupakan ekspresi dan wujud rasa syukur yang akan dilakukan oleh komunitas masyarakat adat di Puncak Gunung Tangkuban Perahu Jawa Barat adalah salah satu ruang yang diciptakan untuk saling berbagi dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.


MIPIT AMIT NGALA SEJA

Sebelum pelaksanaan Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, yang dilakukan di Gunung sebagai simbol Lingga, terlebih dahulu akan dilakukan prosesi Mipit Amit Ngala Seja, yang akan dilakukan di Sagara (Samudera) sebagai simbol Yoni. Lingga Yoni merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Mipit Amit akan dilakukan di 2 tempat, yaitu di Sagara Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan Sagara Sancang – Pamempeuk Garut.

Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang kita pergunakan atau lakukan, tanpa manifestasi lain yang lebih dahulu menjadi bagian dari sesuatu itu.

Buah dari pohon, air dari sungai, tanah kosong ber”penghuni”.

Sepantasnya, sebagai manusia berbudi pekerti, kita terlebih dahulu meminta keikhlasan dari “pemiliknya” tersebut, sebagai ekspresi rasa kasih Tuhan yang melekat dengan ciptaanNya.

Itu adalah esensi dari budaya Mipit Amit Ngala Seja, yang telah diwariskan leluhur Sunda kepada kita semua.

PROSESI MAPAH

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba akan dihadiri oleh Kolot Kanekes (Badui) yang datang khusus untuk menjadi Saksi pada acara ini. Mereka adalah Sesepuh atau Kolot yang Ngabaratakeun Telungpuluh Telu Nagara (Bertapa untuk Memelihara Keberlangsungan Seluruh Dunia).

Kolot Kanekes datang dengan prosesi Mapah , istilah bahasa sunda yang artinya berjalan kaki dari Kanekes menuju Bandung sejauh 275 KM.

Perjalanan ini mempunyai makna yang sangat mendalam secara spiritual, dimana jarak yang sangat panjang ini akan ditempuh dengan BERJALAN KAKI sebagai laku puasa dalam bentuk yang lain dan khas masyarakat adat Kanekes.

Waktu dan Lokasi Pelaksanaan

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan pada hari Minggu, Tanggal 26 Juni 2011, atau dalam penanggalan Kalasunda: Wuku Medakungan, Radite Pahing, 2 Kresnapaksa, Yesta 1947 Candrakala, 4 Kapitu 1933 Suryakala, sejak matahari terbit hingga hamper terbenam. Dilaksanakan di Puncak Tangkuban Parahu merupakan salah satu gunung dari gunung-gunung yang mengitari Cekungan Bandung, gunung berapi yang letaknya di Utara Kota Bandung, Jawa Barat – Indonesia. Gunung Tangkuban Parahu adalah anak dari letusan Gunung Sunda Purba (Purwakancana), konon merupakan gunung tertinggi di dunia di zaman dahulu.

(4 KAPITU1933 Suryakala / 2kresnapaksa-yesta-1947 candrakala, wuku medakungan, radite-pahing KALASUNDA)

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba akan melibatkan Komunitas Adat Lokal (Indonesia) dan Internasional. Beberapa komunitas adat lokal yang akan hadir antara lain komunitas adat Kanekes (Badui) - Banten, Dayak Sagandu - Indramayu, Rancakalong - Sumedang, Cicalengka & Majalaya - Bandung, Cirendeu - Cimahi, Nagara Banceuy – Subang, dan dari berbagai daerah di Indonesia seperti dari Kalimantan, Bali, Sulawesi, Sumatra, dan lain-lain.

Susunan Acara

Minggu - Kamis, 22 – 26 Mei 2011,

Mipit Amit ke Sagara Kidul Pelabuhan Ratu



Minggu - Kamis, 29 Mei – 2 Juni 2011,

Mipit Amit ke Sagara Kidul Sancang



Kamis - Kamis, 16 – 23 Juni 2011,

Prosesi Berjalan Kaki Kolot Kanekes (Badui) dari Kanekes –Banten ke Patumpekan Jalan Kuring – Bandung ( sekitar 275 KM)



Sabtu, 25 Juni 2011

Tumpekan di Patumpekan Jalan Kuring

Prosesi berjalan kaki dari Patumpekan Jalan

Kuring menuju Gunung Tangkuban Parahu

diikuti oleh Parade Budaya



Minggu, 26 Juni 2011

Upacara Ngertakeun bumi Lamba

Angklung Buncis

" getaran vibrasi angklung di percaya mampu melakukan pembersihan tempat dari aura aura negatif. oleh karena itu acara di mulai dengan membersihan tempat acara dengan angklung, yang dilakukan ketika rombongan pejalan kaki memasuki areal Upacara "

RAJAH KACAPI SULING

" Upacara dimulai dengan RAJAH KACAPI SULING yang diikuti oleh seluruh peserta upacara, bersamaan dengan para peserta upacara memulai menenangkan rasa diri "

Celempung dan Karinding

Ritual Adat oleh berbagai suku bangsa

Terbangan

Tarawangsa

Prosesi berjalan kaki dengan membawa Karunia upacara yang disimbolkan dengan Batu dan Air Cikahuripan dari Tangkuban Parahu menuju Patumpekan Jalan Kuring.



Rabu, 29 Juni 2011,

Prosesi Pelepasan Kolot Kanekes pulang berjalan Kaki dari Patumpekan Jalan Kuring – Bandung ke Kanekes – Banten.



Panitia

Jejer Kasepuhan:

- Ki Oji

- Bah Adung

- Jaro Daina

- Buya Sukabumi

- Paheran Takmad Diningrat

Jejer Panamping:

- Abah Dedi Bandung

- Kang Ucie

- Bang Tavip

- Kang Denden

- Kang Budi Dalton

Jaro Salametan :

- Kanta Purwadinata

- Galih Rakasiwi

Panata Parawanten:

- Kang Budi Curie

- Kang Wandi



Ketua Umum : Ichwan R. Akil (Kang Wawan Curie)

Ketua 1 (Upacara) : Kang Bonie

Ketua 2 (Mipit Amit) : Kang Hadi

Ketua 3 (Prosesi Mapah) : Kang Dinan

Sekretaris : Akil Afiat Ginanjar (Kang Gin gin Curie)

Bendahara : Dewi R. Anjarsari

Dokumentasi : Kang Firman, Kang Asep Iket

Transportasi : Kang Deden

Konsumsi : Ambu Dago





Ep ilog

Ungkapan rasa syukur dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Tuhan yang maha Esa dan rasa kasih sayang kepada sesama manusia serta makhluk lain di seisi jagat, seringkali ditampilkan dalam berbagai upacara ritual dan ekspresi seni.



Setidaknya, masih ada ruang untuk bisa saling berbagi dengan rasa Sawelas yang indah antara komunitas masyarakat adat dengan persepsi kekinian komunitas di luar masyarakat adat. Aktifitas ini juga selayaknya dapat (dilihat) sebagai ruang segregasi positif dari seluruh komunitas masyarakat adat di dunia.

Semoga perhelatan upacara Adat budaya ini menyumbangkan energi positif terbaik bagi semesta, untuk diri kita, dengan seluruh rasa perdamaian dan cinta kasih.



Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, SILIWANGI... Rahayu rahayu rahayu

Kesejahteraan Rakyat yang Mana? (Sebuah kumpulan kutipan dari sedikit pemberitaan mengenai hutan dan kesejahteraan)

"Saya mendukung agar tidak serampangan dan tidak merusak tatanan hutan dalam pengusahaan hutan, demi peningkatan dan kesejahteraan rakyat kita yang masih banyak yang miskin. Tapi sangat berlebihan jika usaha di wilayah hutan dihentikan semuanya di negeri ini," ujarnya.

Demikian SBY berujar. Tapi kesejahteraan rakyat yang mana yang dia maksud?

Mungkinkah dia terlupa untuk membaca pemberitaan-pemberitaan yang mengutip pendapat masyarakat mengenai hutan MEREKA. Berikut ini beberapa kutipan dari beberapa pemberitaan tersebut:


Sumber: http://www.tribunnews.com/2011/12/22/50-rumah-adat-di-sumbawa-diduga-dibakar-polisi-dan-tentara

"(Pengusiran -red) ini mulai memuncak pada 2011. Sudah berapa kali masyarakat itu berhadapan dengan perusahaan. Perusahaan masuk dan masyarakat minta perusahaan tidak melakukan aktivitas. Begitu proses eksplorasi sudah masuk wilayah adat Pekasa, masyarakat diminta meninggalkan wilayah kampung mereka. Tidak boleh lagi mengolah wilayah adat mereka terutama yang di wilayah hutan. Tapi masyarakat adat Pekasa menolak karena cuma itulah satu-satunya sumber penghidupan mereka," ujar Mahir Takaka seperti dilansir KBR68H, Rabu (22/12/2011).



Sumber: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=111486 danhttp://www.radarbanten.com/newversion/utama/5540-konflik-bisa-merembet-ke-16-juta-hektare-perkebunan-lain-.html

Di sisi lain, penduduk adat mengklaim memiliki tanah itu dari leluhur. Penduduk adat ini sudah turun-temurun mengelola area perkebunan tadi untuk mata pencaharian sehari-hari. Dari silang sengkarut pertanahan di area perkebunan tadi, Mukri mengatakan bisa memicu konflik horizontal. "Konflik ini melibatkan masyarakat adat, pekerja perkebunan sawit, dan PAM Swakarsa," tandasnya.



Sumber: http://www.aman.or.id/in/masyarakat-adat/232-200-konflik-masyarakat-adat-vs-perusahaan.html

Pontianak, Kompas - Sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat di Kalimantan Barat diserobot perusahaan kelapa sawit. Hal ini menimbulkan sedikitnya 200 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. … Ada juga upaya membujuk masyarakat adat dengan dalih pembangunan dan untuk menyejahterakan masyarakat. ”Tapi akhirnya masyarakat tidak mendapatkan apa-apa,” kata Alloy.



Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2011/12/22/22512846/Konflik.Mesuji.Evaluasi.Kebijakan.Pertanahan

Masalah berakar pada politik agraria yang dijalankan pemerintah, yang mencakup kementerian Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkebunan, Pertambangan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selama ini politik pertanahan cenderung mendukung perusahaan perkebunan besar daripada warga yang tinggal atau menggarap lahan tersebut.

"Pemerintah harus mengevaluasi dan menata ulang politik agraria itu. Hentikan sementara (moratorium) semua perizinan penggunaan lahan karena banyak masalah muncul dari sini. Ada pelanggaran batas izin, konflik dengan lahan warga dan tanah adat desa, dan penempatan aparat keamanan untuk menjaga perkebunan. Ini terjadi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur," katanya.


Sumber:http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/13/22383034/Suku.Anak.Dalam.Bermalam.di.Depan.Gedung.DPR

Abbas menjelaskan, bersama 50-an warga Suku Anak Dalam Bathin Bahar 113 yang mewakili warga Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi, dan Dusun Padang Salak, mereka datang ke Jakarta untuk mengadukan masalah tanah ulayat yang diambil secara sepihak oleh sebuah perusahaan kelapa sawit.

Summber: http://www.facebook.com/notes/diyah-perwitosari/kesejahteraan-rakyat-yang-mana-sebuah-kumpulan-kutipan-dari-sedikit-pemberitaan-/10150421545892060

Konflik masyarajat Senyerang dengan PT WKS (Sinar Mas Forestry) di Jambi. Berikut salah satu kutipan siaran pers kelompok petani mereka:

Konflik antara petani Senyerang dengan PT. WKS sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, sejak tahun 2001, berawal dari dikeluarkannya Perda No. 52 oleh Bupati Tanjung Jabung Barat, Usman Ermulan. Bupati yang kini kembali menjabat tersebut merekomendasikan pengalih-fungsian kawasan kelola rakyat seluas 52.000 hektar yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi Kawasan Hutan Produksi (HP), dan selanjutnya diserahkan kepada PT. WKS guna dikelola menjadi bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI).

Berbekal Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 64/Kpts-II/2001, tanpa proses perundingan dengan masyarakat, PT WKS menggusur lahan petani dan tanah adat masyarakat Senyerang dan sekitarnya untuk kemudian ditanami tanaman akasia-ekaliptus. Pada saat itu, aktifitas pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara-cara kekerasan, dikawal oleh aparat Kepolisian/TNI dan preman bayaran.

The Unsustainable Political Deficiencies of Environmentalism

The Unsustainable Political Deficiencies of Environmentalism
Analysis by Mario Osava

Source: http://ipsnews.net/news.asp?idnews=106317

RIO DE JANEIRO, Dec 27, 2011 (IPS) - The environmental movement won the ideological battle with the growth of awareness on climate change. Environmentalists are no longer seen as "loonies" or granola-eating hippies: the people seen as on the fringe" now are the climate sceptics who deny that global warming is caused by human activity.

Increasingly frequent extreme weather events and rising sea levels have helped convince people to take the warnings seriously, rather than dismissing or playing them down like in the recent past.

The term "sustainability" has even become part of the business jargon, and consumer rights campaigns urge companies to sign corporate social and environmental responsibility agreements, promising not to buy wood or beef produced at the expense of the Amazon rainforest, for example.

But the scientific legitimacy of environmentalists' claims and demands does not translate into political influence when it comes to decision-making time, such as at the international conferences that try to establish a global treaty to curb global warming.

The virtual consensus that the planet is heading for catastrophe if urgent measures are not taken is not accompanied by the necessary political clout to bring about actions considered indispensable for reducing greenhouse gas emissions.

The momentum achieved in the 1990s by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) adopted at the 1992 Earth Summit in Rio de Janeiro, and the Kyoto Protocol signed five years later in Japan seems to have been lost, despite the increased knowledge about the threat to humanity.

The environmental crisis is one of the challenges to the survival of democracy in the 21st century, according to a group of intellectuals brought together periodically by the International Research Institute on Civilisation Policy (IIRPC) in Poitiers, France to discuss pressing global issues.

Democratic regimes do not appear to be capable of adequately addressing the issue of climate change, because of the short-term political dynamic, since environmental problems take decades to solve, said Elimar Pinheiro do Nascimento, director of the Sustainable Development Centre at the University of Brasilia, who participates in the seminars in Poitiers.

Democracy is about freedom, and protecting the environment is about survival, said Nascimento. For that reason, he added, a growing number of intellectuals believe humanity would choose survival over the fight for democracy, if it had to choose between two mutually exclusive options.

The efficacy of the mechanisms for the adoption of international agreements in the U.N. system has also been called into question.

The Kyoto Protocol, which went into effect in 2005 and was to expire at the end of 2012, set a binding target for 37 industrialised countries to cut their greenhouse gas emissions by 5.2 percent, from 1990 levels, by 2012. But it failed to achieve its goal.

The Protocol was limited from the start by its timid targets and rejection by the U.S., at the time the world's largest emitter of carbon dioxide, the main heat-trapping gas.

And the Protocol, which is to be extended until the end of 2017 under an agreement reached this month, was further weakened by the withdrawal of Canada, which was backed by Japan and Russia.

It is difficult to reach agreement on international treaties at U.N. conferences due to the requirement of a consensus among all the parties – 193 in the case of the climate change convention. And effectiveness is not guaranteed, as there are generally no penalties for non-compliance, and approval depends on ratification by national legislatures.

It is at the parliamentary level that the weakness of environmentalism is often reflected, especially when it gets tripped up over economic interests that block the negotiation of international treaties or undermine their impact, as in the case of the Kyoto Protocol.

Green parties are generally tiny and have little influence on national politics, with a few exceptions like Germany. And many of them abandon their principled stances when they get involved in the electoral process, like in Brazil.

Other instruments in the struggle, like protest demonstrations, media campaigns and various forms of social pressure, also appear to be insufficient to bring about the necessary changes.

A reform of the forest code headed for approval in Congress runs counter to national efforts to reduce greenhouse gases in Brazil, recognised as a champion of climate change mitigation by the executive director of the U.N. Environment Programme, Achim Steiner.

The overwhelming parliamentary support for the forest code reform, which will ease environmental requirements and make it easier for landowners to clear Amazon rainforest for agriculture, has demonstrated the impotence of environmentalists - and of scientists who have demanded that their voices be heard in the debate.

Defenders of the forest code, which has protected Brazil's woodlands since 1965, suffered an overwhelming defeat in May, when the reform was passed by 410-63 votes in the lower house of Congress, and on Dec. 6, when it was approved in the Senate by a vote of 59-7.

The bill has now gone back to the lower house of Congress, where it is expected to pass easily within the next few months.

Environmentalists are now worried that the final version of the bill will be even more negative for the environment, because the members of the lower house of Congress are even more closely aligned with the interests of large landowners.

The 17th Conference of the Parties (COP17) to the UNFCCC, held in Durban, South Africa Nov. 28 to Dec. 11, was a "setback" because it merely approved "a promise" to take action as of 2020, Marina Silva wrote in a Dec. 16 article in the Brazilian daily newspaper Folha de São Paulo.

"Statespersons are needed, leaders who can push through the necessary changes at times of crisis," said Silva, who was environment minister under left-wing President Luiz Inácio Lula da Silva (2003-2011).

But how likely is it that leaders capable of standing up to political and economic interests in order to guarantee humanity's survival will emerge?

It will probably be necessary to come up with new mechanisms for approving policies with a long-term focus, which are required to solve environmental problems.

There is a disproportionate imbalance of power in favour of the economy. Central banks, for example, have the autonomy to adopt often unpopular monetary measures in many countries, even despite pressure from national governments.

During financial crises like the one currently affecting the industrialised world and many developing countries, specialised economists reach the highest level of government. But no one can imagine similar power in the hands of environmentalists or climate experts.

When she became environment minister of Brazil in 2003, Marina Silva tried to get the government to accept a cross-cutting approach to environmental issues in all cabinet ministries. But she resigned in May 2008, saying she did not have the political backing needed to protect the rainforest against powerful business interests and their allies in the government. (END)

Sedikit Mengenai Durban, Afrika Selatan

Durban (dalam bahasa Zulu disebut dengan eThekwini, berasal dari kata itheku yang berarti Teluk) merupakan kota terbesar di propinsi KwaZulu Natal dan merupakan kota terbesar ketiga di Afrika Selatan. Kota ini merupakan bagian dari kota metropolitan eThekwini. Durban merupakan kota pelabuhan tersibuk di Afrika Selatan. Kota ini juga menjadi salah satu pusat wisata karena cuaca subtropisnya yang hangat serta pantainya yang luas. Kota ini, termasuk kota-kota di sekitarnya, memiliki 4,5 juta penduduk, menjadikan kota ini kota terbesar di pantai timur benua Afrika. Luas kota metropolitan ini adalah 2.292 km2 dimana hal tersebut relatif lebih luas dibandingkan kota-kota lain di Afrika Selatan, dan dengan luas tanah tersebut kepadatan penduduknya rendah dengan angka 1.513/km2.


Fakta yang diperoleh dari penelitian Arkeologis yang dilakukan di pegunungan Drakensberg menunjukkan bahwa wilayah Durban didiami oleh masyarakat pemburu-peramu sejak 100.000 SM. Masyarakat ini, menempati daerah yang sekarang disebut dengan KwaZulu Natal hingga masa ekspansi petani Bantu dan para pastoral dari daerah Utara, menyaksikan perpindahan, penggabungan serta pemusnahan kaum mereka yang terjadi secara bertahap.


Sejarah penduduk awal kota ini tidak banyak diketahui oleh karena tidak adanya sejarah tertulis atas wilayah ini hingga Vasco da Gama, yang saat itu sedang berlayar menyusuri pantai KwaZulu Natal, berlabuh di Christmastide pada tahun 1497 sementara mencari rute dari Eropa ke India. Dia menamai wilayah tersebut dengan sebutan “Natal” yang berarti Natal dalam bahasa Portugis.


Saat ini, Durban merupakan pelabuhan kontainer terramai di Afrika dan merupakan salah satu tujuan wisata yang populer. The Golden Mile, dikembangkan menjadi tujuan wisata pada tahun 1970 seiring dengan pengembangan sebagian besar wilayah Durban sebagai tujuan wisata, menawarkan paket-paket wisata yang cukup banyak terutama untuk turis yang datang berlibur dari Gauteng. The Golden Mile dipugar lagi pada akhir tahun 2009 untuk persiapan Piala Dunia FIFA pada tahun 2010. Golden Mile diperkenalkan kembali dan diperluas dari Ushaka Marine World hingga Stadium Moses Mabhida. Tempat ini juga merupakan surga bagi keluarga-keluarga penyuka olahraga bersepeda. Anda dapat menyewa sepeda di tempat-tempat penyewaan dekat kota Mino untuk sehari penuh. Pantai-pantai terkenal Durban juga terletak di Golden Mile. Kota ini juga merupakan jalan masuk ke taman-taman nasional dan situs-situs bersejarah Zululand dan Drakensberg.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Durban


Durban Selatan merupakan pusat industri dari Kotamadya Durban. Pembangunan berkelanjutan dari wilayah tersebut dibarengi dengan meningkatnya permasalahan lingkungan yang berdampak pada kualitas hidup masyarakatnya. Demokratisasi politik pada periode tahun 1994 telah membuka akses bagi masyarakat setempat untuk menuntut keadilan lingkungan dan meminta hak mereka atas lingkungan yang aman dan sehat, sebagaimana tertera dalam Konstitusi Afrika Selatan. Fokus tuntutan tersebut melahirkan gagasan-gagasan awal ... dan respon terhadap isu-isu lingkungan, terutama dalam hal polusi udara di Durban Selatan ...Terutama permasalahan yang dihadapi wanita-wanita kulit hitam yang menanggung beban tambahan yang berada dekat dengan sumber polusi yang disebabkan oleh perencanaan lingkungan negara yang rasis ...


Keadilan lingkungan berfokus pada hubungan antara grup yang termajinalkan serta isu-isu lingkungan, dan juga pada nilai paparan polusi yang tidak proporsional yang mengenai kelompok-kelompok marjinal perlu merangkul banyak pihak dan perlunya menkonfrontasi struktur kekuatan yang mendasarinya, hubungan-hubungan sosial, pengaturan lembaga dan wacana-wacana lingkungan yang menyebabkan risiko pada lingkungan. Sebagian besar memandanganya sebagai perpanjangan dari keadilan sosial yang di dalamnya mencakup hak atas lingkungan yang sehat.
Sumber: http://www.jstor.org/pss/4066473



Permasalahan-permasalahan Lingkungan di Durban Selatan

Emisi beracun dari industri yang dilepaskan ke udara dan air merupakan potensi ancaman pada kesehatan masyarakat, pekerja, dan lingkungan Durban Selatan. Terlebih lagi adalah praktik-praktik operasional beberapa perusahaan yang menyebabkan tumpahnya dan semprotan periodik minyak, kecelakaan industri, keamanan dan rencana darurat pekerja dan lingkungan yang tidak sesuai, kecelakaan truk-truk pengangkut dan pembuangan limbah beracun ilegal.

Polusi industri mengambil bentuk bermacam-macam. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Air dan Limbah Perumahan Asosiasi Merebank pada tahun 1992. “Keluhan yang disampaikan oleh warga berhubungan dengan polusi udara, suara, lalu lintas dan keamanan, kontaminasi air dan tampilan ameniti telah terbukti. “Pemukiman liar yang tidak mendapatkan pelayanan meningkat jumlahnya pada beberapa tahun terakhir dan telah menyumbangkan polusi air yang meningkat secara signifikan.


Industri yang telah terletak di Durban Selatan, Afrika Selatan termasuk perusahaan-perusahaan besar Afrika Selatan internasional . Diantara perusahaan-perusahaan tersebut adalah Engen, yang hingga tahun 1996 merupakan grup industri minyak terbesar milik pemerintah Afrika Selatan (sekarang mayoritas dimiliki oleh Petronas, perusahaan minyak Malaysia); Sapref, kilang minyak mentah terbesar di Afrika Selatan (yang dimiliki oleh Shell dan BP Afrika Selatan Selatan Afrika), AECI, konglomerat raksasa dari 15 industri produsen kimia yang berbeda di bagian selatan Umlazi di Umbogentwini; dan Perusahaan kertas Mondi, salah satu pabrik kertas individu terbesar di dunia (anak perusahaan utama dari Anglo American Industrial Corporation Ltd).


Terlebih lagi, ada beberapa perusahaan yang memproduksi gula halus, plastik, kromium, produk-produk berbahan asbes, produk tekstil dan fiber, produk cat dan galvanisir. Semuanya mengatakan bahwa terdapat 120 industri cerobong asap yang menghasilkan banyak varitas minyak dan produk kimia lainnya di Durban Selatan.
Sumber: http://www.h-net.org/~esati/sdcea/environmentalproblems.html



12 Pembuat Polusi di Durban
Publikasi – 5 Desember 2011

12 Pembuat Polusi di Durban merupakan perwakilan-perwakilan industri yang menghasilkan polusi dan menghadang jalan kita untuk melakukan kesepakatan global dimana kita berusaha untuk membatasi dan membalikkan emisi GHG di seluruh penjuru dunia. Laporan Greenpeace yang berjudul “Siapa yang telah Menghadang Jalan kita?” mendokumentasikan usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak di seluruh dunia, yang acapkali merupakan kegiatan yang terkoordinir, untuk membatasi, mengurangi atau meniadakan peraturan dan kebijakan pengurangan emisi GHG.

1. Jorma Ollila, Ketua, Royal Dutch Shell
2. Lorraine Mitchelmore, CEO, Shell Canada
3. David Collyer, Presiden,Canadian Association of Petroleum Producers
4. Thomas Donohue, Presiden dan CEO,US Chamber of Commerce
5. Lakshmi Mittal, Ketua dan CEO, ArcelorMittal
6. Jürgen R. Thumann, Presiden, BusinessEurope
7. David and Charles Koch, Koch Industries
8. Marius Kloppers, CEO, BHP Billiton
9. Dr. Kurt Bock, Ketua Badan Eksekutif Direktur, BASF
10. Jean-Guy Carrier, Sekertaris Jenderal, International Chamber of Commerce
11. Jack N Gerard, Presiden,American Petroleum Institute
12. Brian Dames, CEO, Eskom


Sumber: http://www.greenpeace.org/international/en/publications/The-Dirty-Dozen-in-Durban/





English Version



Durban (Zulu: eThekwini, from itheku meaning 'bay') is the largest city in the South African province of KwaZulu-Natal and the third largest city in South Africa. It forms part of the eThekwini metropolitan municipality. Durban is famous for being the busiest port in South Africa. It is also seen as one of the major centres of tourism because of the city's warm subtropical climate and extensive beaches. The municipality, which includes neighbouring towns, has a population of almost 4.5 million, making the combined municipality the biggest city on the east coast of the African continent. The metropolitan land area of 2,292 square kilometres (885 sq mi) is comparatively larger than other South African cities, resulting in a somewhat lower population density of 1,513 /km2 (3,920 /sq mi).



Archaeological evidence from the Drakensberg mountains suggests that the Durban area has been inhabited by communities of hunter-gatherers since 100,000 BC. These people lived throughout the area of present day KwaZulu-Natal until the expansion of Bantu farmers and pastoralists from the north saw their gradual displacement, incorporation or extermination.



Little is known of the history of the first residents, as there is no written history of the area until it was sighted by Portuguese explorer Vasco da Gama, who sailed parallel to the KwaZulu-Natal coast at Christmastide in 1497 while searching for a route from Europe to India. He named the area "Natal", or Christmas in Portuguese.



Today, Durban is the busiest container port in Africa and a popular tourist destination. The Golden Mile, developed as a welcoming tourist destination in the 1970s, as well as Durban at large, provides ample tourist attractions, particularly for people on holiday from Gauteng. The Golden Mile was redeveloped late 2009 in time for the 2010 FIFA world cup. It was resurfaced and widened from Ushaka Marine World all the way to the Moses Mabhida Stadium. The Golden Mile has become a cyclist paradise with families. You can rent a bike for the day at the bicycle rental shop next to the Mino Town. Durban's most popular beaches are also located along the Golden Mile. The city is also a gateway to the national parks and historic sites of Zululand and the Drakensberg.

Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Durban



South Durban is the industrial heartland of the Durban Unicity. The progressive development of the area has been accompanied by increasing environmental problems that impact on the quality of life adjacent communities. The political democratization in the period since 1994 has created the space for local communities to demand environmental justice and claim their rights to a safe and healthy environment, a right guaranteed in South Africa’s Constitution. This focus provides some preliminary insights. This focus provides some preliminary insights … and responses to environmental issues, particularly air pollution in South Durban … This is particularly the case for black women, who bear the additional burden of closer proximity to pollution sources as a result of the environmentally racist state planning …



… Environmental justice focuses on the relationship between marginalized groups and environmental issues, as well as on the disproportionate exposure of marginalized groups to pollution suggests that environmental justice needs to reach out across space and confront the underlying power structures, social relations, institutional arrangements and environmental discourses that cause environmental risk. Most refer to it as an extension of social justice that includes the right of all to a healthy environment.

Source: http://www.jstor.org/pss/4066473



Environmental Problems in South Durban



Toxic emissions from industries into the air and water are a potential threat to the health of communities, workers, and the environment in South Durban. So, too, are poor operating practices by some companies that have led to periodic oil spills and sprays, industrial accidents, inadequate safety and emergency plans for workers and neighbourhoods, truck accidents, and illegal dumping of toxic wastes.



Pollution from industry takes many forms. As the Executive Director of Water and Waste wrote to the Merebank Residents Association as long ago as September 1992, "The complaints of the Merebank residents relating to air pollution, noise pollution, traffic generation and safety, water contamination and visual amenity in the area were justified." Unserviced informal settlements that have rapidly expanded in recent years also have contributed significantly to water pollution.

The industries that have located in South Durban include major South African and international companies. Among these companies are ENGEN, until 1996 the largest South African-owned integrated petroleum group (now majority-owned by Petronas, the Malaysia petroleum company); Sapref, the largest crude oil refinery in Southern Africa (owned by Shell South Africa and BP Southern Africa); AECI, a very large conglomerate of 15 different chemical-producing companies south of Umlazi in Umbogentwini; and Mondi Paper Company, one of the largest individual paper mills in the world (a major subsidiary of Anglo American Industrial Corporation Ltd).



In addition, there are companies that produce refined sugar, plastics, chromium, asbestos products, textiles and fibre products, galvanizing and paint products. All told, there are approximately 120 "smokestack industries" that produce a wide variety of petroleum and other chemical products in South Durban.

Source:http://www.h-net.org/~esati/sdcea/environmentalproblems.html



The Dirty Dozen in Durban

Publication - December 5, 2011

The Dirty Dozen are the top representatives of those corporate polluters that are holding us back from a global deal to limit and reverse GHG emissions worldwide. Greenpeace’s report ‘Who’s Holding Us Back?’ has documented the global effort, often well coordinated, to limit, reduce or eliminate regulation and legislation that would reduce GHG emissions.



1. Jorma Ollila, Chairman, Royal Dutch Shell
2. Lorraine Mitchelmore, CEO, Shell Canada
3. David Collyer, President, Canadian Association of Petroleum Producers
4. Thomas Donohue, President and CEO, US Chamber of Commerce
5. Lakshmi Mittal, Chairman and CEO, ArcelorMittal
6. Jürgen R. Thumann, President, BusinessEurope
7. David and Charles Koch, Koch Industries
8. Marius Kloppers, CEO, BHP Billiton
9. Dr. Kurt Bock, Chairman of the Board of Executive Directors, BASF
10. Jean-Guy Carrier, Secretary-General, International Chamber of Commerce
11. Jack N Gerard, President, American Petroleum Institute
12. Brian Dames, CEO, Eskom

Source: http://www.greenpeace.org/international/en/publications/The-Dirty-Dozen-in-Durban/