Monday, January 2, 2012

Kesejahteraan Rakyat yang Mana? (Sebuah kumpulan kutipan dari sedikit pemberitaan mengenai hutan dan kesejahteraan)

"Saya mendukung agar tidak serampangan dan tidak merusak tatanan hutan dalam pengusahaan hutan, demi peningkatan dan kesejahteraan rakyat kita yang masih banyak yang miskin. Tapi sangat berlebihan jika usaha di wilayah hutan dihentikan semuanya di negeri ini," ujarnya.

Demikian SBY berujar. Tapi kesejahteraan rakyat yang mana yang dia maksud?

Mungkinkah dia terlupa untuk membaca pemberitaan-pemberitaan yang mengutip pendapat masyarakat mengenai hutan MEREKA. Berikut ini beberapa kutipan dari beberapa pemberitaan tersebut:


Sumber: http://www.tribunnews.com/2011/12/22/50-rumah-adat-di-sumbawa-diduga-dibakar-polisi-dan-tentara

"(Pengusiran -red) ini mulai memuncak pada 2011. Sudah berapa kali masyarakat itu berhadapan dengan perusahaan. Perusahaan masuk dan masyarakat minta perusahaan tidak melakukan aktivitas. Begitu proses eksplorasi sudah masuk wilayah adat Pekasa, masyarakat diminta meninggalkan wilayah kampung mereka. Tidak boleh lagi mengolah wilayah adat mereka terutama yang di wilayah hutan. Tapi masyarakat adat Pekasa menolak karena cuma itulah satu-satunya sumber penghidupan mereka," ujar Mahir Takaka seperti dilansir KBR68H, Rabu (22/12/2011).



Sumber: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=111486 danhttp://www.radarbanten.com/newversion/utama/5540-konflik-bisa-merembet-ke-16-juta-hektare-perkebunan-lain-.html

Di sisi lain, penduduk adat mengklaim memiliki tanah itu dari leluhur. Penduduk adat ini sudah turun-temurun mengelola area perkebunan tadi untuk mata pencaharian sehari-hari. Dari silang sengkarut pertanahan di area perkebunan tadi, Mukri mengatakan bisa memicu konflik horizontal. "Konflik ini melibatkan masyarakat adat, pekerja perkebunan sawit, dan PAM Swakarsa," tandasnya.



Sumber: http://www.aman.or.id/in/masyarakat-adat/232-200-konflik-masyarakat-adat-vs-perusahaan.html

Pontianak, Kompas - Sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat di Kalimantan Barat diserobot perusahaan kelapa sawit. Hal ini menimbulkan sedikitnya 200 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. … Ada juga upaya membujuk masyarakat adat dengan dalih pembangunan dan untuk menyejahterakan masyarakat. ”Tapi akhirnya masyarakat tidak mendapatkan apa-apa,” kata Alloy.



Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2011/12/22/22512846/Konflik.Mesuji.Evaluasi.Kebijakan.Pertanahan

Masalah berakar pada politik agraria yang dijalankan pemerintah, yang mencakup kementerian Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perkebunan, Pertambangan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selama ini politik pertanahan cenderung mendukung perusahaan perkebunan besar daripada warga yang tinggal atau menggarap lahan tersebut.

"Pemerintah harus mengevaluasi dan menata ulang politik agraria itu. Hentikan sementara (moratorium) semua perizinan penggunaan lahan karena banyak masalah muncul dari sini. Ada pelanggaran batas izin, konflik dengan lahan warga dan tanah adat desa, dan penempatan aparat keamanan untuk menjaga perkebunan. Ini terjadi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur," katanya.


Sumber:http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/13/22383034/Suku.Anak.Dalam.Bermalam.di.Depan.Gedung.DPR

Abbas menjelaskan, bersama 50-an warga Suku Anak Dalam Bathin Bahar 113 yang mewakili warga Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi, dan Dusun Padang Salak, mereka datang ke Jakarta untuk mengadukan masalah tanah ulayat yang diambil secara sepihak oleh sebuah perusahaan kelapa sawit.

Summber: http://www.facebook.com/notes/diyah-perwitosari/kesejahteraan-rakyat-yang-mana-sebuah-kumpulan-kutipan-dari-sedikit-pemberitaan-/10150421545892060

Konflik masyarajat Senyerang dengan PT WKS (Sinar Mas Forestry) di Jambi. Berikut salah satu kutipan siaran pers kelompok petani mereka:

Konflik antara petani Senyerang dengan PT. WKS sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, sejak tahun 2001, berawal dari dikeluarkannya Perda No. 52 oleh Bupati Tanjung Jabung Barat, Usman Ermulan. Bupati yang kini kembali menjabat tersebut merekomendasikan pengalih-fungsian kawasan kelola rakyat seluas 52.000 hektar yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi Kawasan Hutan Produksi (HP), dan selanjutnya diserahkan kepada PT. WKS guna dikelola menjadi bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI).

Berbekal Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 64/Kpts-II/2001, tanpa proses perundingan dengan masyarakat, PT WKS menggusur lahan petani dan tanah adat masyarakat Senyerang dan sekitarnya untuk kemudian ditanami tanaman akasia-ekaliptus. Pada saat itu, aktifitas pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara-cara kekerasan, dikawal oleh aparat Kepolisian/TNI dan preman bayaran.

No comments:

Post a Comment